PERADABAN ISLAM PADA MASA BANI UMAYYAH TIMUR
(661-750 M)
Makalah disususn guna untuk memenuhi mata kuliah sejarah peradaban islam
Dosen pengampu: Muhammad Hufron, MSI
Di susun oleh kelas PGMI C:
1.
Rara Saraswati ( 2023113037)
2.
Umroh Makhfudho ( 2023113096)
3.
Ana Silfiyana ( 2023113107)
JURUSAN TARBIYYAH PRODI PGMI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
TAHUN AJARAN 2014
BAB I
PENDAHULUAN
Sejarah adalah etalase peradapan
manusia. Didalamnya akan kita temukan berbagai peristiwa yang mewarnai,
mempengaruhi hingga meledakkan peradapan makhluk Allah bernama manusia. Dan
seperti yang sering ditegaskan, bahwa sejarah akan selalu berulang. Mungkin
saja pengulangan itu tidak benar-benar persis dengan peristiwa awalnya, namun
substansi peristiwa yang terformulasikan dalam hukum kausalitas (sebab-akibat) akan
tetap begitu-begitu saja, nyaris ak mengalami perubahan berarti.
Dalam makalah ini, akan akan
membahas sejarah mengenai salah satu dinasti terbesar dalam rentang sejarah
islam, Dinasti Umayyah. Sebuah dinasti yang telah ditakdirkan menjadi pelanjut
peradaban islam setelah mas keemasan era Khulafaurrasyidum. Di sini akan
dipaparkan mengenai seluk-beluk peristiwa dan tindak-tanduk para tokoh dan
pelaku yang terlibat dalam perjalanan Dinasti Umayyah.
Dengan adanya makalah ini diharapkan
kita mendapatkan gambaran yang utuh tentang kisah awal berdirinya Dinasti
Umayyah, sejak terbunuhnya Khalifah Ustman bin Affan radhiyallahu’anhu, para
khalifah yang prnah memimpin, catatan peristiwa politik, ekonomi dan sosial
yang terjadi didalamnya, yang kemudian diakhiri dengan kesimpulan umun tentang
Dinasti Umayyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Berdirinya Dinasti Umayyah
Nama Dinasti Umayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin Abd Syams bin Abdu Manaf. Ia adalah salah seorang
tokoh penting ditengah Quraisy pada masa Jahiliah. Ia dan pamannya Hasyim bin
Abdu Manaf selalu bertarung dalam memperebutkan kekuasaan dan kedudukan.[1] Kekhalifahan
Umayyah merupakan dinasti (mulk) pertama dalam sejarah islam. Kekhalifahan
Umayyah berlangsung dari 661-750 M.[2]
Terjadinya negara Umayyah dan pindahnya pemerintahan dari kekuasaan
Khulafaur Rasyidin kepada Umayyah didasarkan atas perdamaian dengan rivalnya
dan kesepakatan dengan mereka, bukan karena peperangan yang membuat
terbentuknya kekuasaan Umayyah.[3]
Kekuasaan Khulafaur Rasyidin adalah kekuasaan dengan tipe terkenal
sistem syura (musyawarah), padahal semua kekuasaan di dunia pada masa itu
menggunakan sistem otoriter dan diktator. Musyawarah adlah bentuk persamaan dan
keadilan masyarakat, dan kekuasaan terhadap golongan lain, sistem ekonomi pada
masa Khilafaur Rasyidin juga mempunyai
bentuk khusus yaitu dengan cara mengabaikan harta umat kepada seluruh orang
dalam masyarakat.
Dengan adanya semua faktor-faktor diatas maka semua kekuasaan
Khulafaur Rasyidin sangat susah untuk bertahan lama, karena masyarakat baru
dengan generasi dan pemikiran barunya baik Arab maupun bukan tidak dapat
menyesuaikan dengan kekuasaan Khulafaur Rasyidin.
Kecenderungan masyarakat baru ini lebih menghendaki kekuasaan
dipimpin oleh raja-raja yang masih ada hubungan kekeluargaan seperti dulu pada
masa Jahiliyah. Hal itu sangat cocok menurut pikiran mereka dan kebutuhan
masyarakat baru. Muawiyah merupakan sosok yang tepat dan dapat mewakili
kepentingan, keinginan dan kecenderungan mereka. Dengan demikian maka syam
sangat tepat untuk menjadi ibu kota negara baru ini karena penduduknya dari
arab dulunya adalah keturunan Ghassasinah yang hidup dengan maju dan
bermewah-mewahan.
Muawiyah yang tinggal bersama mereka (syam) selama duapuluh tahun
lamanya. Ia juga telah menjadi ahli waris Ustman untuk mengambil balasan
terhadap kematiannya. Terbunuhnya Ustman merupakan hasil dari bergolaknya
generasi baru dengan pemikiran dan kecenderungan barunya.[4]
Perang Shiffin menyebabkan kuatnya posisi Muawiyah. Setelah Ali
wafat, Hasan menjadi khalifah tetapi lemah. Maka dibuatkan perjanjian damai
yang mempersatukan umat dibawah kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan. Tahun
persatuan ini disebut ‘am jama’ah atau tahun jama’ah. Perjanjian ini
menyebabkan Muawiyah menjadi penguasa yang absolut. Masa Khulafaur Rasyidin
berakhir dan kekuasaan Bani Umayyah dimulai.[5]
Muawiyah berhasil mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya
dikarenakan kemenangan diplomasidi Shiffin dan terbunuhnya Khalifah Ali.
Melainkan sejak semula gubernur Suriah itu memiliki basis rasional yang solid
bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan. Pertama, adalah berupa
dukungan yang kuat dari rakyat Suriah dan dari keluarga Bani Umayyah sendiri. Penduduk
Suriah yang lama diperintah oleh Muawiyah mempunyai asukan yang kokoh, terlatih
dan disiplin digaris depan dalam peperangan melawan Romawi. Mereka bersama-sama
dengan kelompok bangsawan kaya Mekah dari keturunan Umayyah berada sepenuhnya
dibelakang Muawiyah dan memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan yang tidak ada
habisnya, baik moral, tenaga manusia, maupun kekayaan. Negri Suriah sendiri
terkenal makmur dan menyimpan sumber alam yang melimpah. Ditambah lagi bumi
Mesir yang berhasil dirampas, maka sumber-sumber kemakmuran dan suplai
bertambah bagi Muawiyah.
Kedua, sebagai seorang administrator, Muawiyah sangat bijaksana
dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting . tiga orang
patutlah mendapat perhatian khusus, yaitu ‘Amr bin Ash, Mugirah bin Syu’bah,
dan Ziyad bin Abihi. Ketiga pembantu Muawiyah merupaan empat politikus yang
sangat mengagumkan di kalangan muslim Arab. Akses mereka sangat kuat dalam
membina perpolitikan Muawiyah.
‘Amr bin Ash sebelum masuk Islam dikagumi oleh bangsa Arab, karena
kecakapannya sebagai mediator antara Quraisy dan suku-suku Arab lainnya jika
terdapat perselisihan. Setelah menjadi muslim hanya beberapa bulan menjelang
penaklukan Mekah, nabi segera memanfaatkan
kepandaiannya itu sebagai pemimpin militer dan diplomat. Tokoh besar ini
terutama dikenang sebagai penakluk Mesir di zaman Umar dan menjabar gubernur
pertama diwilayah itu. Sejak wafatnya Khalifah Ustman, ‘Amr mendukung Muawiyah
dan di tunjuk olehnya sebagai penengah dalam peristiwa tahkim. Sayang, hanya
dua tahun ia mendampingi Muawiyah. Orang kedua adalah Mugirah bin Syu’bah,
seorang politikus independen. Karena ketrampilan politiknya yang besar,
Muawiyah mengangkatnya menjadi gubernur di Kufah yang sebagian besar pendukung
Ali. Sedangkan orang ketiga bernama Ziyad bin Abihi, seorang pemimpin
kharismatik yang netral, ditetapkan Muawiyah untuk memangku jabatan gubernur di
Basrah dengan tugas khusus di Persia Selatan. Sikap politiknya yang tegas,
adil, dan bijaksana menjamin kekuasaan Muawiyah kokoh di wilayah provinsi
paling timur itu yang dikenal sangat gaduh dan sukar diatur.
Ketiga, Muawiyah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan
sejati, bahkanmencapai tingkat hilm, sifat tertinggi yang dimiliki oleh para
pembesar Mekah zaman dahulu. Seorang manusia hilm seperti Muawiyah dapat
menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan,
meskipun ada tekanan dan intimidasi.
Gambaran dari sifat mulia tersebut dalam diri Muawiyah
setidak-tidaknya tampak dalam keputusannya yang berani memaklumkan jabatan
khalifah secara turun-temurun. Situasi ketika Muawiyah naik ke kursi
kekhalifahan mengundang banyak kesulitan. Anarkisme tidak dapat lagi
dikendalikan oleh ikatan agama dan moral, sehingga hilanglah persatuan umat.
Persekutuan yang dijalin secara efektif melalui dasar keagamaan sejak Khalifah
Abu Bakartidak dapat dielakkan dirusak oleh peristiwa pembunuhan atas diri
Khalifah Ustman dan perang saudara sesama muslim dimasa pemerintahan Ali.
Dengan menegakkan wibawa pemerintahan serta menjamin integritas
kekuasaan dimasa-masa yang akan datang, Muawiyah dengan tegas menyelenggarakan
suksesi yang damai, dengan pembaiatan putranya, Yazid, beberapa tahun sebelum
khalifah meninggal dunia.[6]
B.
Para
Khalifah Dinasti Umayyah
Masa kekuasaan Dinasti Umayyah hampir satu abad, tepatnya selama 90
tahun, dengan 14 orang khalifah. Khalifah yang pertama adalah Muawiyah bin Abi
Sufyan, sedangkan khalifah yang terakhir adalah Marwan bin Muhammad. Diantara
mereka ada pemimpin-pemimpin besar yang berjasa di berbagai bidang sesuai
dengan kehendak zamannya, sebaliknya ada pula khalifah yang tidak patut dan
lemah. Adapun urutan khalifah Umayyah adalah sebagai berikut[7] :
1.
Muawiyah
bin Abi Sufyan (41-60 H/661-689 M)
Muawiyah bin Abi Sufyan adalah bapak pendiri Dinasti Umayyah.
Dialah tokoh pembangun yang besar. Namanya disejajarkan dalam deretan khulafaur
rasyidin. Bahkan kesalahannya yang mengkhianati prinsip pemilihan kepala negara
oleh rakyat, dapat dilupakan orang karan jasa-jasa dan kebijakan politiknya
yang mengagumkan. Muawiyah mendapat kursi kekhalifahan setelah Hasan bin Ali
bin abi Tholib berdeamai dengannya pada tahun 41 H. Umat Islam sebagiannya
membaiat Hasan setelah ayahnya itu wafat. Namun Hasan menyadari kelemahannya
sehingga ia berdamai dan menyerahkan kepemimpinan umat kepada Muawiyah sehingga
tahun itu dinamakan ‘amul jama’ah, tahun persatuan. Muawiyah menerima
kekhalifahan di Kufah dengan syarat-syarat yang diajukan oleh Hasan yakni :
a.
agar
Muawiyah tiada menaruh dendam terhadap seorangpun penduduk Irak
b.
menjamin
keamanan dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka
c.
agar
pajak tanah negri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikian tiap tahun
d.
agar
Muawiyah membayar kepada saudaranya, Husain, 2 juta dirham
e.
pemberian
kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdis Syams[8]
Silsilah Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai pendiri Daulah Amawiah
yang berkuasa atas pemerintahan kaum Muslimin selama delapan puluh tahun
(40-132 H) bersambung kepada Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin Qushay.
Ibunya adalah Hindun binti ‘Utbah bin Rabi’ah bin Abd. Syams bin Abdu Manaf.[9]
Muawiyah adalah salah seorang dari Arab yang berakal cerdik dan
orang yang paling menguasai dunia publik. Dia adalah orang yang cerdas,
bijaksana, pekah lidah, seorang pujangga, seorang dermawan, sebagaimana ia juga
seorang yang sangat mencintai kepemimpinan.[10]
Muawiyah dianggap sebagai pendiri Dinasti Umayyah dan sebagai
khalifah pertama. Muawiyah diangkat sebagai khalifah Dinasti Umayyah di Iliya’
(Yerusalem) pada 40 H/660 M. Oleh Muawiyah, ibu kota negara dipindahkan dari
Kufah ke Damaskus. Akan tetapi ia memiliki kekuasaan yang terbatas karena
beberapa wilayah Islam tidak mengakui kekhalifahannya; penduduk Irak mengangkat
Hasan, putra Ali sebagai penerus yang sah (meskipun kemudian ia menyerahkan
jabatannya kepada Muawiyah ). Sistem pemerintaha yang ia jalankan adalah sistem
pemerintahan yang turun-temurun (monarkhi). Hal ini dipengaruhi oleh sistem
pemerintahan yang ada di Persia dan Byzantium. Sistem ini kemudian diikuti oleh
dinasti-dinasti besar Islam sesudahnya. Muawiyah memerintah berlangsung selama
90 tahun.[11]
Muawiyah mengangkat puteranya yang bernama ‘ubaidillah bin Ziyad
sebagai gubernur Khurasan. Pada waktu berusia dua puluh lima tahun ia berhasil manakukan
Al Madid kemudian Baikand serta berhasil menekan Khatun, Puteri Bukhari, agar
bersedia berdamai. Tetapi di tolak dan sang Puteri memohon bantuan bangsa
Turki. Kemudian mereka mengirim pasukan tentara kepadanya. Dalam pertempuran
kali ini kaum Muslimin menderita kalah dan kini Khatun balik menekan kaum
Muslimin agar bersedia memerima perjanjian damai dan memohon perlindungan
keamanan daripadanya serta pasuikan tentara kaum Muslimin mundur sampai ke
Baikand. Khatun membatalkan perjanjian damai dan menolak membayar pajak, namun
tidak lama kemudian ia bersedia membayarnya. Kaum Muslimin dibawah komando
Sa’id bin Ustman yang di angkat menjadi gubernur Khurasan sesudah ‘Ubaidillah
bin Ziyad berhasil memasuki Bukhara dan di lanjutkan ke Samarqand setelah melalui
perang dahsyat.[12]
Pada tahun 50 H Muawiyah mengutus ‘Uqbahbin Nafi’ pada masa
pemerintahan ‘Amr bin Al ‘Ash untuk menaklukkan Afrika. ‘Uqbah berhasil
menunaikan misinya sehingga banyak diantara orang-orang Barbar yang masuk Islam
melalui tangannya. Kemudian mereka dimasukkan ke dalam barisan tentara bangsa
Arab dan karenanya secara damai mereka tertaeik untuk masuk Islam sehingga ia sampai
ke Sudan. Sukses yang diraih oleh ‘Uqbah bin Nafi’ menjadikan dirinya diangkat
sebagai gubernur Afrika.[13]
Kemudian dia memperluas wilayahnya ke arah barat laut, yaitu
Byzantium. Ia membangun angkatan laut Islam dengan memanfaatkan galangan kapal
dan perlengkapan yang ada di Byzantium.[14]
Ketika Muawiyah jatuh sakit yang mengantarkannya meninggal dunia,
lalu ia berpesan kepada anaknya, Yazid, dengan suatu pesan yang menunjukkan
terhadap kehebatan pendapatnya dan kepiawaiannya terhadap berbagai urusan serta
penguasaannya yang dalam terhadap karakter manusia, seraya berkata : Lihatlah
dan perhatikan olehmu penduduk Hijaz sebagai asal muasal dirimu. Muawiyah
meninggal dunia pada bulan Rajab 60 H di Damaskus.[15]
Muawiyah merupakan orang pertama di dalam Islam yang mendirikan
suatu departemen pencatatan (diwanulkahatam). Setiap peraturan yang
dikeluarkan oleh khalifah harus disalin didalam suatu register, kemudian yang
asli harus disegel dan dikirimkan ke alamat yang dituju. Sebelumnya, yang
dikirimkan adalah perintah-perintah yang terbuka. Pernah terjadi khalifah
memberikan 1000 dirham kepada seseorang dari perbendaharaan provinsi. Surat
yang berisi perintah itu dicegat ditengah jalan, dan jumlahnya diubah dengan
angka yang lebih tinggi.[16]
2.
Yazid
bin Muawiyah/Yazid I (60-63 H/680-683 M)
Yazid dilahirkan dari isteri Muawiyah yang bernama Maimun binti
Bahdal Al Kabiah, seorang wanita kampung yang dinikahi Muawiyah sebelum ia
menjadi khalifah. Yazid tumbuh dan besar di kampung dengan pola kehidupan
kampung seperti yang biasa yang dijalani ibunya. Ia fasih dalam berkata,
dermawan, dan sangat pandai bersyair sehingga orang-orang mengatakan : Syair
diawali oleh seorang raja dan diakhiri juga oleh seorang raja, yakni
diawali oleh Umru-ul Qais dan diakhiri oleh Yazid.
Ketika Muawiyah meninggal dunia, masyarakat luas membai’at Yazid
sebagai khalifah, kecuali Al Husein bin Ali, Abdullah bin Al Abbas, dan
Abdullah bin Umar. Kemudian Yazid menyuruh Al Walid bin ‘Utbah , gubernurnya
atas Madinah, untuk meminta agar mereka membai’atnya. Sedangkan Abdullah bin Az
Zubair menolak, lalu melarikan diri ke Mekkah dan menjadikan Baitullah sebagai
perisai serta berkampanye agar dirinya diakui sebagai khalifah. Tetapi
seruannya ini mendapat saingan kuat dari Al Husain bin Ali sehingga ia
tersisihkan.
Pada waktu gubernur Madinah meminta agar Al Husain bin Ali
membai’at Yazid sebagai khalifah, berkatalah ia kepadanya : Adapun tentang
bai’at seperti yang engkau minta, sesungguhnya orang seperti aku tidak akan
memberikannya secara sembunyi-sembunyi dan aku juga tidak melihat engkau
memilah-milah bai’at tersebut daripadaku secara sembunyi-sembunyi tanpa
menampakkannya dihadapan para pemimpin masyarakat secara terang-terangan.
Bilaman engkau keluar menuju orang banyak untuk menyeru mereka agar melakukan
bai’at tersebut, maka engkaupun menyeru kami bersama orang banyak pula sehingga
masalahnya sama. Kemudian Al Walid yang terkenal sebagai orang yang suka
memberi maaf berkata kepadanya : Kalau begitu, silahkan engkau pergi dari sini
dengan nama Allah. Lalu Al Husain berangkat meninggalkan Madinah menuju Mekkah
dan berkirim surat kepada masyarakat Syi’ah (pendukungnya) di Kaufah.[17]
Sebagai respon dari Yazid atas sikap masyarakat Madinah yang
seperti ini, ia mengirim Yazid bin Muslim bin ‘Uqbah Al Mari sebagai orang yang
dikenal diktator dan kejam di lingkungan masyarakat Arab dan sebagai orang yang
sarat pengalaman. Kemudian ia mengizinkan pasukan tentaranya menyamun kota
Madinah selama tiga hari. Ia bersama pasukan tentaranya sungguh telah melakukan
tindakan zhalim secara berlebih-lebihan,
yakni bahwa ia bersama pasukan tentaranya telah melakukan tindakan melampaui
batas dalam membunuh, merampok, dan tindakan munkar lainnya. Demikianlah
tercatat dalam sejarah Islam bahwa orang-orang Bani Umayyah telah menodai
kesucian kota Madinah.
Selanjutnya Yazid menyuruh panglimanya yang bernama Muslim bin
‘Uqbah ini agar melanjutkan penyerangannya ke Mekkah untuk menaklukkan penduduk
kota suci ini.[18]
Maka terjadilah pertempuran yang terkenal di Karbala yang menewaskan Husain.
Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Yazid di Damaskus. Kemudian ia dikuburkan di
Karbala. Peristiwa inilah yang kemudian menjadi cikal bakal pertumbuhan Mazhab
syi’ah.[19]
3.
Muawiyah
bin Yazid/Muawiyah II (64 H/683-684 M)
Muawiyah II saat diangkat menjadi khalifah masih anak-anak dan
dianggap lemah. Dia tdak meninggalkan sesuatu yang pantas untuk dicatat
mengingat masa pemerintahannya juga hanya empat puluh hari saja. Dia juga tidak
sempat menikmati kekuasaannya karena ia sakit sehingga hanya terdiam didalam
rumahnya. Penyusun kitab Al Fakhri menyebutkan dalam halaman 109, bahwa ia
berfikir untuk mencalonkan seseorang untuk menjadi khalifah sesudahnya seperti
yang dilakukan oleh Abu Bakar sesudah Umar. Tetapi ia tidah menemukan seseorang
yang pantas untuk itu, sehingga ia menempuh cara seperti yang dilakukan Umar
bin Khathab dengan cara mengangkat seseorang yang terpilih untuk jabatan
khalifah melalui pemilihan dari enam orang yang dicalonkan.
Langkah ini tidak berhasil juga. Maka oleh karenanya, ia membiarkan
masalah khalifah tergantung pada hasil musyawarah masyarakat luas, seraya
berkata kepada mereka : Kaliyan lebih berhak atas urusan kalian. Untuk itu,
kalian dipersilahkan memilih orang yang kalian sukai. Mereka menjawab :
Angkatlah saudaramu, Khalid. Dia berkata : Demi Allah! Aku tidak pernah
menikmati manisnya kekhalifahan kalian sehingga aku tidak menanggung dosanya.
Sesudah itu, kemudian ia naik mimbar dan berpidato : Wahai manusia!
Sesungguhnya kakekku, Muawiyah, telah merampas jabatan ini diperuntukkan bagi
keluarganya dari orang yang lebih berhak atas jabatan tersebut mengingat
kedekatan hubungan kekeluargaannya kepada Rasulullah SAW, yakni Ali bin Abu
Tholib. Sungguh ia telah melakukan apa yang telah kalian ketahui sampai ia
menemui ajalnya sehingga didalam kuburnya ia menjadi barang jaminan atas
dosa-dosanya dan menjadi tawanan atas kesalahan-kesalahannya. Kemudian daripada
itu, ayahku menjadi penerus kekhalifahan ini padahal ia bukan ahli dibidang
tersebut. Ia juga telah melakukan tindakan sesuai dengan keinginannya, kemudian
ia meninggalkan harapannya karena sang ajal segera menjemputsehingga kini ia
didalam kuburnya menjadi barang jaminan atas dosa-dosanya dan menjadi tawanan
atas segala tindakan kriminalnya.
Sesudah itu, ia menangis sampai air matanya mengalir dan membasahi
pipinya, lalu berkata : Sesungguhnya orang yang lebih pandai atas berbagai
urusan daripada kita mengetahui nasib buruk dari ujung perjalanan hidup dan
sejelek-jelek tempat kembali kita. Gara-gara ambisi kita, keturunan Rasulullah
SAW telah mati terbunuh dan kesucian kota Madinah telah ternoda serta Ka’bah
pun dirusak. Sungguh aku bukan pengikut jejak kalian dan bukan pula orang yang
bertanggungjawab atas tindakan kotor kalian. Aku serahkan urusan kalian kepada
kalian, tidak mau turut campur. Demi Allah! Andai dunia ini baik, niscaya kita
telah mendapat bagian daripadanya. Kemudian andai dunia ini jelek, maka cukup
kiranya dengan bencana yang menimpa keturunan Abu Sufyan : Ingatlah! Hendaknya Hasan
bin Malik mampu menjadi mediator dengan orang-orang sehingga mereka
bermusyawarah perihal khalifah kalian. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada
kalian. Kemudian ia masuk kedalam rumahnya dan tidak pernah muncul dihadapan
orang banyak sampai meninggal dunia beberapa hari kemudian, pada tahun itu
juga.[20]
4.
Marwan
bin Al-Hakam/Marwan I (64-65 H/684-685 M)
Marwan adalah keturunan Bani Umayyah yang dikenal bersikap memusuhi
Rasulullah dan dakwahnya. Ayahnya yang bernama Al Hakam bin Al ‘Ash sebelum
masuk Islam adalah terkenal orang yang banyak menyakiti Rasulullah. Sesudah ia
masuk Islam ternyata Islamnya itu tidak tulus sehingga selalu menyakiti
Rasulullah dan mengejeknya.
Ketika Ustman menjadi khalifah Al Hakam dipersilahkan kembali ke
Madinah dan dijadikan salah seorang dari orang-orang yang dekat dengannya.
Bahkan anaknya yang bernama Marwah diprioritaskan dan diangkat menjadi menteri.
Ketika Ustman wafat dan kekhalifahan berpihak kepada Ali, maka Marwan pun
mengundurkan diri dari panggung politik. Peristiwa ini terjadi sesudah meletus
Perang Jamal yang sangat terkenal. Ia membai’at Ali dan menetap di Madinah. Ia
diangkat menjadi gubernur Madinah oleh Muawiyah dua kali. Ia oleh Yazid
ditempatkan di Syam.[21]
Di zaman Marwah inilah gerakan anti khalifah mampu diba akhirnya
terbabat habis. Abdullah bin Zubair akhirnya terbunuh yang merupakan pembela
terakhir tradisi lama di Hijaz. Marwan I dapat menundukkan Palestin, Hijaz dan
Irak. Masa pemerintahannya hanya berlangsung selama setahun. Selanjutnya
kepemerintahannya diturunkan kepada anaknya yaitu Abdul Malik.[22]
5.
Abdul
Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
Dia adalah Abdul Malik bin Marwan bin Al Hakam bin Abu Al ‘Ash bin
Umayyah bin Abdu Manaf. Ibunya adalah Aisyah binti Muawiyah bin Al Mughirah bin
Abu Al’Ash bin Umayyah. Silsilah ayah dan ibunya bertemu pada Abu Al ‘Ash.
Ibunya terkenal sebagai orang yang sangat baik perilaku dan sifat-sifatnya
sehingga daripadanya terlahir pribahasa.
Abdul Malik bin Marwan lahir di Madinah pada tahun 26 H, pada masa
pemerintahan Ustman bin Affan. Tercatat, bahwa ia tumbuh dengan sangat cepat
dan terkenal sebagai pemberani, suka menolong, dikenal sebagai seorang
penasihat, pujangga dan tidak takut dicerca. Dia pun dikenal sebagai orang yang
hafal Al-Qur’an, seorang kritikus syair yang ahli dalam membedakan syair yang
baik dari yang jelek.
Bangsa Arab pada saat Marwan bin Al Hakim meninggal dunia, hampir
terpecah belah dikarenakan fanatisme kabilah yang telah diupayakan dan berhasil
dipadamkan oleh Nabi SAW. Ketika itu, Daulat Amawiah telah berada ditepi jurang
kehancuran dn hampir runtuh. Abdul Malik bin Marwah dianggap sebagai pendiri
kedua Daulat Amawiah mengingat kecerdasan akal dan kemampuannya dalam
mengendalikan berbagai urusan.
Abdul Malik mengawali masa pemerintahannya dengan melakukan
serangan kepada para musuhnya sehingga belum juga berlalu tujuh tahun segala
urusan dapat ditegakkan.[23]
Musuh paling berbahaya bagi Abdul Malik bin Marwan adalah Al Mukhtar bin Abu
‘Ubaid dan Abdullah bin Az Zubair. Abdul Malik pada tahun 66 H telah bergerak
bersama pasukan tentaranya yang terdiri dari bangsa Arab Syam untuk memerangi
Al Mukhtar di Koufah.[24]
Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi naik mimbar dengan menutup bagian
mukanya untuk berpidato. Ia pun membuka kain yang menutupi wajahnya lalu
berpidato dengan bahasa pujangga dan sangat bersejarah. Semua isi pidatonya itu
berupa cacian dan ancaman bagi penduduk Irak yang berani mencoba untuk bersikap
durhaka kepada Bani Umayyah.[25]
Sesudah Al Hajjaj mengamankan penduduk Koufah, ia melanjutkan
misinya ke Bashrah. Disan ia pun berpidato di hadapan penduduk Barshah dengan
yang sama dengan pidato yang disampaikian di Koufah, baiki mana maupun
tujuannya. Sesudah itu, ia membantu Al
Mulahhab bin Abu Shafrah dalam memerangi kaum khawarij. Al Hajjaj telah
melakukan tindakan melampaui batas dalam membunuh para tawanan perang dalam Perang Dir Al Jamajim dan dia juga telah melakukan langkah
berlebih-lebihan dalam memberi harta kekayaan kepada para pendukungnya yang telah
membantudalam upaya mengalahkan pihak musuh.
Demikian cara Al Hajjaj menundukkan
negeri Irak dan negeri-negeri timur agar tunduk pada kekuasaan Abdul Malik bin
Marwan.[26]
Periode ini merupakan periode
keemasan Bani Umayyah. Pembaruan-pembaruan banyak dilakukan
dalam masa ini antara lain :
a. Bahasa arab digunakan sebagai bahasa
resmi negara.
b. Mencetak mata uang Arab dalam dirham,
dinar dan flas.
c. Mendirikan kas negara di Dimaskus.
d. Memperbarui qawaid.
e. Meningkatkan pelayanan pos dan
komunikasi.
f. Memperbarui perpajakan.
g. Pertama kali dalam sejarah Arab, tulisan
menggunakan titik (.) dan koma (,).[27]
6. Al Walid bin Abdul Malik/Al Walid I
(86-96 H/705-715 M)
Pemerintahan Al Walid berlangsung selama
10 tahun. Masa ini mengalami puncaknya pada ekspansi wilayah Islam. Peta Islam
paling luas dalam sejarah itu meliputi sampai ke benua India (Pakistan) dan
perbatasan Cina. Bagian utara meliputi Aleppo, Asia kecil, Cesnia, dan Armenia
sampai ke daerah-daerah yang disebut negara Turkmenistan, Kirgistan, Uzbaikistan,
Kazagtan di Asia Tengah, Afghanistan dan Persia. Di bagian wilayah barat, Islam
menguasai seluruh Afrika Utara sampai ke semenanjung Iberia (Spanyol dipimpin
Tariq bin Ziyad dan Portugal) dan seluruh bagian Perancis serta kepulauan Laut
Tengah.
Pembangunan besar-besaran juga terjadi
pada masa Al Walid ini, diantaranya Armada laut dan Armada udara yang luar
biasa. Armada laut raksasa yang ia bangun merupakan kelanjutan dari armada laut
yang dibangun Muawiyah bin Sofyan. Selain armada, Al Walid juga banyak
mendirikan madrasah dan sekolah kedokteran, lansia (lanjut usia), orang buta,
lumpuh, orang gila dan wanita yang kekurangan biaya untuk mengasuh
putra-putrinya yang di tinggal mati
suaminya pada waktu perang dengan jaminan hidup dari negara secara gratis. Pada
masa Al Walid ini, terkenal dengan negara damai dan rakyat pun merasa aman. Ia
juga membangun pusat-pusat kajian Islam (Al-Qur’an dan Hadist) di Makkah,
Madinah, Bashrah, Kufah dan tempat-tempat lain. Selain itu, juga dibangunlah
banyak masjid diantaranya yang terkenal adalah masjid Al Amawi yang sampai
sekarang terkenal dengan keindahan bangunannya di Damaskus. Begitu juga dengan
masjid-masjid yang ada di Mesir, Qayrawan dan tempat-tempat lain.[28]
Ketika Abdul Malik bin Marwan meninggal
dunia pada 86 H. Lalu putranya, Al Walid naik tahta menjadi khalifah. Tercatat,
bahwa Al Walid menduduki kursi khalifah selama sepuluh tahun. Masa pemerintahan
Al Walid adalah masa-masa penaklukan disamping sebagai masa-masa damai dan
tentram. Pada masa pemerintahannya wilayah pemerintahan Amawiyah bertambah
luas, baik di barat maupun di timur, sebagaimna kehidupan yang sejahtera bagi
mayoritas kaum Musliminpun dapat di wujudkan. Hidup yang sejahtera ini
terwujud, antara lain : Berkat sifat kasih sang Khalifah kepada kaum fakir miskin,
berkat perhatiannya yang besar terhadap keadaan dan kepentingan masyarakat luas
sehingga ia sering tidak tidur sepanjang malam karnanya, kemudian berkat
usaha-usaha yang dilakukannya dalam meringankan beban parapasien yang sedang
menderita sakit, dan berkat santunannya yang bersifat khusus bagi para
penderita kusta karena mereka tidak diperbolehkan meminta-minta kepada orang,
sebagaimana ia juga secara khusus menyediakan pembantu bagi para manula yang
ditugaskan untuk melayani kepentingan mereka dan sebagaiman ia pun secara
khusus menyediakan pembantu bagi para tuna netra yang ditugaskan untuk menjadi
penuntun yang setia menemani.[29]
7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99
H/715-717 M)
Masa pemerintahan Sulaiman tidak lebih
dari dua tahun. Tercatat, bahwa Sulaiman adalah seorang yang berbicara dengan
fasih, kebalikan dari saudaranya Al Walid. Lebih dari itu, ia adalah seorang
yang sangat menyenangi makanan dan wanita. Pada masa pemerintahan Sulaiman
istana penuh berwarnakan kemewahan yang sangat berlebihan sehingga berbagai
mafsadat merembes masuk kesana. Perbuatan rendah ini sampai merembak kepada
para gubernur dan para penguasa bawahannya.[30]
Pada masa khalifahSulaiman ini,
pemerintahan menjadi menurun. Hal ini dikarenakan Sulaiman terkenal kurang baik
dalam mengendalikan pemerintahan, tidak seperti Al Walid. Para jenderal yang
telah berjasa dalam mengharumkan nama Islam malah dipecat oleh Sulaiman, yaitu
Musa dan Tariq dengan alasan tidak patuhi terhadap perintah Sulaiman. Jabatan
dan kekayaan mereka pun diambil secara tidak hormat.[31]
8. Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
Karena lahir di istana, tumbuh dan hidup
sebagai pangeranyang serba mewah, Umar bin Abdul Aziz menjadi seorang yang
terbiasa dengan hidup mewah. Setelah ia diangkat menjadi khalifah, ia pun
berubah. Ia tinggalkan semua kehidupan mewah istana dengan memikul tanggung
jawab sebagai khalifah. Semua harta yang menjadi kemewahanya di kembalikan
kepada bait al mal dan ia berubah menjadi sederhana.
Umar bin Abdul Aziz ini sering disebut
Umar II. Dalam menata administrasi pemerintahan, ia memiliki karakteristik yang
berbeda dari para pendahulunya, yaitu :
a. Perwujudan ketenangan dan keamanan
rakyat. Dealam hal ini ia lebih fokus pada keamanan rakyat daripada perluasan
daerah dan kekuasaan negara.
b. Kebijakan pemerintah yang netral
terhadap semua golongan, ras dan suku. Hal ini dalam rangka mewujudkan keamanan
dan ketertiban bersama.
Umar II berusaha untuk memperbaiki dan mengatur urusan-urusan dalam
negri dengan diterapkannya kebijaka-kebijakan yang mengatur para penguasa dan
pejabat negara. Diantara kebijakan tersebut adalah netral dalam memberikan hak
dan kewajiban terhadap orang arab ataupun mawali. Kedudukan mawali disejajarkan
dengan muslim Arab. Ia terkenal sebagai khalifah yang shaleh dan jujur dalam
penegakan hukum dan keadilan. Umar II tidak segan-segan memecat tanpa pandang
bulu kepada para penguasa dan pejabat yang tidak cakap atau tidak mampu, zalim
dan ber KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme ). Hal ini ditunjukkan dengan
dipecatnya dan dihukumnya Yazid bin Muhallab, gubernur Khurasan yang tidak bisa
membuktikan tuduhan penggelapan pajak dari kas propinsi. Ia kemudian di asingkan
ke pulau Syprus dan di gantikan Jarrah bin Abdullah. Yazid melarikan diri dan
memberontak dari penjara dengan menyogok kepala penjara, maka khalifah pun
memenjarakan di Aleppo. Contoh lain adalah dipecatnya gubernur Andalusia yang
dianggap tidak cakap , tamak, haus akan harta dan kekuasaan, dan zalim karena
tidak mampu menjalankan pemerintahan dengan baik. Diangkatlah Al Salamah
sebagai penggantinya.
Setelah itu, kemudian ia mengangkat
orang-orang yang dianggap shaleh dan jujur, yang memperhatikan kesejahteraan
rakyat, serta berada diatas semua golongan, suku dan ras. Ia berusaha
menciptakan perdamaian diantara para penguasa dan pejabat yang selama ini
bermusuhan dan bertikai, contohnya diangkatlah Adi bin Arthat sebagai gubernur
Basrah, Abdul Hamid bin Abdurrahman di Kufah, Umar bin Hubairah di Mesopotamia,
dan Jarrah bin Abdullah sebagai gubernur Khurasan dari suku Mudhar. Sedangkan
dari suku Himyar, ia mengangkat Isla’il bin Abdullah sebagai gubernur Qayrawan
dan Al Salamah bin Malik di Andalusia.
Kebijakan-kebijaikan Umar II dengan
memecat dan menghukum para pejabat yang zalim ini menunjukkan pembangunan
negara secara moral. Ia mampu meredam konflik antar golongan dan sekte. Dia
berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan syi’ah dan memberikan kebebasan
kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan
kepercayaan. Ia lebih mencurahkan diri dalam membangun dan mengislamkan
rakyatnya daripada ekspansi dan menumpuk otoritas.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz berusaha
menjaga hubungan baik antara pemerintah dengan golongan oposisi. Ia menyatakan
bahwa memperbaiki dan meningkatkan negara dalam wilayah Islam lebih baik
daripada menambah perluasannya. Hal ini dapat dikatakn bahwa prioritas utama
pemerintahan adalah pembangunan dalam negeri. Meskipun begitu, perluasan daerah
juga terjadi dalam masa Umar II ini. Serangan dilakukan ke Perancis melalui
pegungungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurrahman bin Abdullah Al
Ghafiqi. Ia menyerang Bordeau, Poitiers dan Tours. Namun, dalam peperangan di
luar kota Tours, Al Ghafiqi terbunuh dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol.
Dengan ekspansi ini berarti sampai dengan masa ini daerah kekuasaan Umayyah
sudah sangat luas baik di Timur maupun Barat, meliputi Spanyol, Afrika Utara,
Syria, Palestina, Jazirah Arab, Asia Kecil, Persia, Afghanistan, Pakistan,
Purkmenia, Uzbekistan dan Kirgis. Pulau-pulau yang ada di Laut Tengah juga
jatuh dalam wilayah kekuasaan Islam pada masa Bani Umayyah ini.
Umar bin Abdul Aziz dianggap seorang
khalifah dari para khalifah Bani Umayyah yang paling baik sejarah kehidupannya,
paling bersih kepribadian, paling suci tangan, paling terjaga lideahnya, paling
giat menyebarkan Islam dan menegakkan agama. Pemerintahan yang dijadiikannya
telah menjadi cahaya putih dan titik terang bagi masa itu yang berlumuran
kediktatoran dan tumpah darah, sehingga kaum Muslimin menyamakan
kepemimpinannya dengan kepemimpinan kakeknya, Umar bin Khatab, baiki dalam
keadilan maupun dalam kezuhudannya.[32]
9. Yazid bin Abdul Malik/Yazid II (101-105
H/720-724 M)
Yazid bin Abdul Malik dilantik menjadi
khalifah pada bulan Rajab tahun 101 H.[33]
Yazid bin Abdul Malik terkenal sebagai khalifah yang sangat terkenal
berfoya-foya, berhura-hura dan sangat mengagumi wanita. Dikatakan, bahwa ia
tertarik oleh dua orang dayang yang bernama Salamah dan Khubabah.[34]
Pada masa Yazid II ini dimulailah masa
kemunduran Bani Umayyah. Yazid II sangatlah lemah dan tidak punya kemampuan
dalam memerintah. Setelah ia dinobatkan sebagai khalifah, meledaklah
pemberontakan-pemberontakan. Dinasti Umayyah sudah diambang pintu kehancuran.
Konflik antar suku dan ras sangatlah menonjol. Dimana-mana gerakan Abassiyah
mulai merajalela.
Meskipun mengalami kemunduran, perluasan
daerah Islam masih tetap berjalan terus. Perluasan ke Spanyol masih
dilanjutkan. Misi ini dipimpin oleh Al Samh bin Malikal Khaulani pada tahun 720
M. Ia berhasil menduduki Septania, Tours, Toulouse dan Equitania. Pertempuran
ini mendapatkan perlawanan yang kuat dari pasukan nasrani hingga pasukian Islam
terhenti dan Al Samh pun terbunuh dalam pertempuran tersebut. Kemudian
perluasan diarahkan ke kerajaan Frank di Spanyol tetapi pasukan Islam mengalami
kekalahan dalam ekspansi ini.[35]
Pada masa pemerintahan Yazid muncullah
perselisihan antara dirinya dengan saudaranya yang ditimbulkan karena prilaku
Yazid yang tidak baik. Ketiika Yazid menerima kabar bahwa Hisyam tidak menyukai
dan berharap agar ia segera mati serta bahwa Hisyam mencaci gaya hidupnya yang
senang berfoya-foya dan hura-hura.[36]
10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125
H/724-743 M)
Hisyam bin Abdul Malik dilantik sebagai
khalifah pada bulan Rajab pada tahun 105 H. Bertepatan dengan hari kematian
saudaranya, Yazid bin Abdul Malik. Ia berlanjut menjadi khalifah sampai
meninggal di Ra Rashafah (wilayah Qainsirin) pada bulan Rabi’ul Akhir tahun 125
H sesudah berkuasa selama sembilan belas tahun empat bulan lebih beberapa hari.[37]
Hisyam adalah seoarang yang cerdas,
penyantun dan murah hati. Dia juga terkenal sebagai seorang ahli strategi dan
seorang politikus ulung sehingga dikatakan, bahwa ahli politik dari Bani
Umayyah ada tiga orang, Muawiyah, Abdul Malik dan Hisyam.[38]
Sifat buruk pada Hisyam adalah dendamnya yang membara kepada kaum Alawi dan
hukuman yang ditimpakan kepada mereka setiap kali peluang terbuka baginya.[39]
Keadaan negara tidaklah berubah, malah
terjadi keadaan yang serba kacau dan sangat tidak aman disaat Hisyam memangku
jabatan sebagai khalifah. Tetapi ia mempunyai ketetapan yang kuat juga dalam
menegakkan hukum. Antara lain dalam penggantian pejabat dan penguasa yang
ditetapkan Yazid II yang korup dan lemah serta tidak cakap. Ia mampu
menaklukkan kembali daerah-daerah yang lepas dari kekhalifahan Umayyah.
Ekspansi yang dilakukan pada masa ini berhasil menaklukkan Equitani dan
Bordeaux.[40]
11. Al Walid bin Yazid bin Abdul Malik/Al
Walid II (125-126 H/743-744 M)
Al Walid bin Yazid di bai’at pada bulan
Rabi’ul Akhir 125 H bertepan dengan hari kematian Hisyam. Dia hanya memerintah
satu tahun dua bulan dan beberapa hari saja karena mati terbunuh di sebuah
kampung di antara perkampungan Damaskus pada bulan Jumadil Akhirah tahun 126 H.
Al Walid terkenal sebagai seorang
khalifah yang gemar berfoya-foya, hura-hura dan bermain perempuan. Dia juga
dikenal sebagai seorang penyair yang kualitatif yang berhasil menciptakan beberapa
bait syair yang baik sekali dalam objek celaan, asmara dan obsesinya tentang
arak.[41]
Kemunduran Bani Umayyah mulai sangat
tampak pada saat ini. Masa khalifah Al Walid II merupakan masa berakhirnya
zaman keemasan Bani Umayyah. Keadaan negara menjadi serba kacau. Khalifah tidak
mampu lagi mengendalikan situasi dan kondisi negara. Keadaan ini menyerupai
kebijakan yang ditinggalkan oleh Umar II yang merupakan ayahnya sendiri. Ia
dengan sewena-wena memecat para pejabat dan kepala daerah yang diangkat para
pendahulunya dan diganti dengan pilihan dan kemauannya sendiri.
Hal ini diperparah dengan diangkatnya
Yazid III (putra Al Walid II) menjadi didukung oleh para bangsawan Umayyah.
Kebijakan ini menjadikan situasi huru hara dan kondisi yang tidaklah aman yang
menyebabkan semakin mundurnya masa kekhalifahan Bani Umayyah.[42]
12. Yazid bin Al Walid/Yazid III (128-132
H/744-749 M)
Yazid bin Al Walid di lantik menjadi
khalifah di Damaskus pada bulan Jumadil Akhirah tahun 126 H. Dan ia wafat pada
bulan Dzul Hijjah tahun itu juga, sesudah ia menjabat khalifah selama lima
bulan. Kemudian saudaranya Ibrahim bin Al Walid dilantik sebagai khalifah
sesudahnya dan ia juga hanya menjabat khalifah selama dua bulan saja.
Yazid bin Al Walid adalah seorang
bermata juling dan suka menampakkan diri sebagai orang yang tekun beribadah.
Namun dia juga dijuluki dengan orang kikir, karena telah memotong gaji para
tentara terutama para tentara Hijaz, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.[43]
Yazid III tidak mampu mengendalikan
negaranya.meskipun ia sudah berusaha membuat rencana dan kebijakan yang baik
untuk mengatasi semuanya, namun tetaplah keadaan negara menjadi sangat kacau.
Prisip-prinsip Yazid II tidak disenangi sebagian rakyatnya. Prinsip Yazid III
yang menganut paham jabariyah yaitu tidak percaya akan takdir buta menjadikan
ia dimusuhi oleh para ulama ortodoks. Begitu juga dengan kontroversi
pengangkatannya menjadi khalifah. Ia memang di dukung oleh kaum Yaman tapi
mendapat perlawanan dari suku Mudhar.
Khalifah Yazid III kemudian jatuh sakit
dan akhirnya meninggal dunia. Di sisi lain, gerakan Abbasiyah mulai
menggoyangkan kedaulatan Dinasti Abbassiyah secara terang-terangan.[44]
13. Ibrahim bin Al Walid (126H/744M)
Setelah Yazid III meninggal maka
diangkatlah Ibrahim putranya menjadi khalifah menjadi penggantinya. Akan tetapi
Ibrahim berkuasa sangatlah sebentar. Oleh sebagian sejarawan, Ibrahim dianggap
tidak diakui sebagai khalifah secara resmi karena tidak ada penobatan dan
pengangkatannya. Setelah Yazid III meninggal, Marwan beserta sejumlah
tentaranya yang banyak langsung menyerang tentara Ibrahim yang berada di
Damaskus dan Balbek. Ia berhasil mengalahkan pasukan Ibrahim. Akhirny, Marwan
yang semula gubernur Harran kemudian diangkat dan dinobatkan menjadi khalifah
Dinasti Umayyah menggantiikan Ibrahim.[45]
14. Marwan bin Muhammad/Marwan II (126-132
H/744-750 M)
Banyaknya pemberontakan yang terjadi
pada masa ini menyebabkan kemunduran yang luar biasa bagi Dinasti Umayyah.
Pemberontakan tidak hanya terjadi dari berbagai pihak luar yang ingin
merongrong dan menjatuhkan kerajaan tetapi juga terjadi perang saudara dan
persoalan intern istana. Diantara pemberontakan yang berpengaruh adalah
pemberontakan di Palestina. Di pihak lain, gerakan Abbasiyah semakinh gencar.
Muncullah Ibnu Muawiyah, cicit dari Imam Ja’far (syahid dalam perang Mu’tah
zaman Nabi SAW) yang di daulat para pengikutnya sebagai khalifah. Marwan pun
berusah untuk mengalahkannya.
Berbagai pembaharuan telah dilakukan
dalam hal-hal tertentu untuk mengatasi keadaan negara yang semakin kacau. Akan
tetapi perbaikan-perbaikan dan pembaruan kebijakan tidaklah dapat mendukung
lagi. Akhirnya khalifah Umayyah pun mengalami kegagalan. Marwan juga berusaha
meminta bantuan pasukan dari pihak luar untuk mengatasi pemberontakan tersebut,
tetapi ia gagal memperolehnya.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan
kemunduran dan kehancuran Dinasti Umayyah, antara lain :
1. Sistem pergantian khalifah (keturunan)
tidak jelas (persaingan keluarga). Persaingan ini menyebabkan tidak sehatnya
sistem pemerintahan dalam Dinasti Umayyah
2. Sisa-sisa syi’ah dan Khawarij melakukan
gerakan oposisi.
Penumpasan terhadap golongan-golongan
ini telah menyedot kekuatan pemerintahan
3. Penentangan etnis antara Bani Qaisy
(suku Arabia utara) dan Bani Kalb (suku Arabia selatan). Pertentangan dua suku
ini sebenarnya telah ada sejak sebelum Islam dan makin meruncing di masa ini.
Perselisihan ini menyebabkan sulitnya persatuan dan kesatuan bangsa
4. Ketidakpuasan golongan mawali
karena
dianggap inferior.
Hal ini terutama terasa seka di Irak dan
wilayah timur lainnya. Sikap bangsa Arab sangat angkuh terhadap status golongan
mawali
sangat
terlihat pada masa Bani Umayyah
5. Sikap hidup mewah di lingkungan keluarga
istana. Kemewahan hidup ini membuat keturunan dan keluarga khalifah tidak mampu
memerintah dengan baik. Begitu juga dengan aspek lainnya (sosial, agama, dll),
pemerintah menjadi kurang perhatian
6. Serangan dari keturunan Al Abbas ibn
Abdul Muthalib (didukung Bani Hasyim, syi’ah dan mawali). Permusuhan lama
antara orang Turki dan Persia kembali bergejolak.
Abu Muslim Khurasani mengumumkan atas
nama khalifah Abbasiyah pada tahun 747 M menggoyahkan posisi Marwan II. Puncak
peperangan ini adalah ketika Marwan II dan pasukannya menghadapi kesatuan
pasukan Abbasiyah yang di dalamnya terdapat orang syi’ah, khawarij, dan
kelompok serta suku-suku yang lain termasuk mawali. Mereka sangat menonjolkan
dukungannya terhadap Abbasiyah.
Pasukan Abbasiyah yang merupakan
gabungan dari beberapa tentara, dipimpin oleh Abdullah yang telah diangkat oleh
Abu Al Abbas sebagai panglima perang. Pada tahun 749 M di tepi sungai Dzab
terjadilah perang besar antara pasukan abbasiyah melawan tentara Marwan II.
perang ini dimenangkan oleh pasuikan Abbasiyah. Pada bulan April 750 M, disati
Abbasiyah resmi diumumkan dengan khalifah Abu Al Abbas Saffah sebagai khalifah
pertama. [46]
C. Masa Kemajuan Dinasti Umayyah
Hanya dalam jangka waktu 90 tahun,
banyak bangsa di 4 penjuru mata angin beramai-ramai masuk kedalam kekuasaan
Islam, yang meliputi tanah Spanyol, seluruh wilayah Afrika Utara, Jazirah
Arab< siria, Palestina, sebagian daerah Anatholiat, Irak, Persia,
Afghanistan, India dan negri-negri yang sekarang dinamakan Turmenistan,
Uzkekistan dan Kirgistan yang termasuk Sovie Rusia.
Pada masa pemerintahan Muawiyah di raih
kemajuan besar dalam perluasan wilayah, meskipun pada beberapa tempat masih
bersifat rintisan. Peristiwa aling mencolok adalah keberaniannya mengepung kota
konstatinopel melalui suatu ekspedisi yang dipusatkan dikota pelabuhan
Dardanela. Diselah timur, Muawiyah berhasil menaklukan kurasan sampai ke sungai
okpus dan Afghanistan. Kemudian tiba masa kekuasaan Alwalid I yang
disebut-sebut sebagai “masa kemenangan yang luas”. Prestasi terbesar Alwalid I
ialah difron Afrika Uatara dan sekitarnya, selat Gibraltar dan masuk ke
Spanyol. Lalu ibu kotanya, Cordofa segera dapat direbut, menysul kemudian
kota-kota lain seperti Sevilla, Elvira dan Toledo. Penyempurnaan penaklukan
atas Eropa dengan menyisir kaki pegunungan Pyrenia dan menyerang Carolingian Prancis.
Dalam bidang politik Bani Umayyah
berhasil menyusun tata pemerintahan yang sama sekali baru, untuk memenuhi
tuntutan perkembangan wilayah dan administrasi kenegaraan yang semakin komplek.
Dalam bidang budaya , terutama seni bangunan (arsitektur), Bani Umayyah
mencatat suat pencapaian yang gemilang seperti Dome Of The Rock (kubbah ash-shakhra) di Yerussalem
menjadi monumen terbaik yang hingga kini tak henti-hentinya di kagumi orang.
Pada masa Abul Aswhad Adduali menyusun
gramatika arab dengan memberi titik pada huruf-huruf hijaiyah yang semula tidak
bertitik. Usaha ini mengembangkan dan memperluas bahasa arab, serta memudahkan
orang membaca, mempelajari dan menjaga barisan yang menentukan gerak kata dan
bunyi suara serta ayunan iramanya, hingga dapat diketahui maknanya.
Dalam bidang peradaban Dinasti Umayyah
telah menemukan jalan yang lebih luas kearah pengembangan dan perluasan
berbagai bidang ilmu pengetahuan, dan bahasa arab sebagai media utama. Beberapa
kemajuan dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan antara lain :
1. Pengembangan bahasa arab
Menjadikan bahasa arab sebagai bahasa
resmi dalam tata usaha negara dan pemerintahan
2. Marbat kota pusat kegiatan ilmu
3. Ilmu Qiroat
4. Ilmu Tafsir
5. Ilmu Hadist
6. Ilmu Fiqih
7. Ilmu nahwuh
8. Ilmu Jughrafi dan Tarikh
9. Ilmu Penerjemah
Ilmu
tersebut benar-benar berdiri sendiri pada masa Dinasti Umayyah
D. Masa Kehancuran Dinasti Umayyah
Runtuhnya Bani Umayyah dikarenakan
kelemahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dari pihak luar.
Beberapa faktor penyebab kehancurannya yaitu sebagai berikut :
1. Sitem pergantian khalifah melalui garis
keturunan yang menyebakan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan
anggota keluarga istana
2. Sisa-sisa gerakan syi’ah dan khawarij
terus menjadi gerakan oposisi baik secara terbuka seperti dimasa awal dan akhir
maupun sewcara tersembunyi seperti dimasa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah
3. Pertentangan etnis antara Bani Qois dan
Bani Kalb yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam semakin runcing yang
mengakibatkan kesulitan menggalang kesatuan dan persatuan
4. Sikap hidup mewah di lingkungan istana
sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan
tatkala mereka mewarisi kekuasaan
5. Munculnya kekuasaan baru yang dipelopori
oleh keturunan Al Abbas bin Abbas Al Muthalib yang berasal dari Bani Hasyim dan
golongan syi’ah
Demikianlah Dinasti Umayyah paska wafatnya Umar bin
Abdul Aziz yang berangsur-angsur melemah. Kekhalifahan sesudahnya dipengaruhi
oleh pengaruh-pengaruh yang melemahkan dan akhirnya hancur. Dinasti Umayyah
diruntuhkan oleh Dinasti Abbasiyah pada masa khalifah Marwan bin Muhammad pada
tahun 127 H/744 M.[47]
BAB 3
PENUTUP
Dari malakah diatas deapat
disimpulkan bahwa terbentuknya Dinasti Umayyah kakera perdamaian dengn rivalnya
yaitu Ali bin abi Tholib dengan cara tahkim.
Puncak kejayaan Bani
Umayyah terletak pada saat pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan dan Al Walid bin Abdul Malik/Al Walid I. Dalam bidang peradaban Dinasti Umayyah telah menemukan jalan yang lebih
luas kearah pengembangan dan perluasan berbagai bidang ilmu pengetahuan
Namun tidak lama kemuudian
Bani Umayyah mulai turun atau redup pada masa pemerin tahan Sulaiman bin Abdul Malik karena perbagai peristiwa yang tidak dapat ia tangagani dengan baik
dan perselisihan antara keraajan yang membuatnya semakin hancur. Hingga
digantikan oleh kekuasaan Bani Abasiyyah.
DAFTAR PUSTAKA
Samsul
Munir Amin, 2010, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta:
Amzah
Khoiriyah,2012, Reorientasi Wawasan Sejarah
Islam, ,Yogyakarta:
Teras
Yusuf
Al ‘Isy,2007, Dinasti Umayyah, Jakarta: Puastaka Al-Kautsar
Hasan
Ibrahim,2006, Sejarah dan Kebudayaan
Islam, Jakarta: KALAM MULIA
[2]
Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam, Cet. I (Yogyakarta: Teras,
2012), hlm. 69.
[3]
Yusuf Al ‘Isy, Dinasti Umayyah, Cet. I (Jakarta: Puastaka Al-Kautsar,
2007), hlm. 158.
[4] Ibid,
hlm. 163.
[5] Khoiriyah, op. cit. Hlm. 82
[6] Samsul Munir Amin, op. cit. hlm. 119-121.
[7] Ibid, hlm. 121.
[8] Samsul Munir Amin, op. cit. hlm. 122.
[9] Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Cet. 9 (Jakarta:
KALAM MULIA, 2006), hlm. 2
[10] Ibid, hlm. 15
[11] Khiriyah, op. cit. hlm. 70-71.
[12] Hasan Ibrahim Hasan, op. cit. hlm. 7-8.
[13] Ibid, hlm. 8-9.
[14] Khoiriyah, op. cit. hlm. 71.
[15] Hasan Ibrahim, op. cit. hlm. 17-18.
[16] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV PUSTAKA
SETIA, 2008), hlm. 105.
[17] Hasan Ibrahim Hasan, op. cit. hlm. 18-19.
[18] Ibid, hlm. 19-20.
[19] Khoiriyah, op. cit. hlm. 71.
[20] Hasan Ibrahim Hasan, op. cit. hlm. 21-23.
[21] Ibid, hlm. 23-24
[22] Khoiriyah, op. cit. hlm. 72.
[23] Hasan Ibrahim Hasan, op. cit. hlm. 28-30.
[24] Ibid, hlm. 33.
[25] Ibid, hlm. 34.
[26] Ibid, hlm. 36-37.
[27] Khoiriyah, op. cit. hlm. 72.
[28] Ibid, hlm. 73.
[29] Hasan Ibrahim Hasan, op. cit. hlm. 43.
[30] Ibid, hlm. 90.
[31] Khoiriyah, op. cit. hlm. 74.
[32] Hasan Ibrahim Hasan, op. cit. hlm. 91.
[33] Ibid, hlm. 101.
[34] Ibid, hlm. 102.
[35] Khoiriyah, op. cit. hlm. 77.
[36] Hasan Ibrahim Hasan, op. cit. hlm. 104.
[37] Ibid, hllm. 105.
[38] Ibid, hlm. 106.
[39] Hasan Ibrahim Hasan, op. cit. hlm. 107.
[40] Khoiriyah, op. cit. hlm. 77.
[41] Hasan Ibrahim Hasan, op. cit. hlm. 108
[42] Khoiriyah, op. cit. hlm. 78.
[43] Hasan Ibrahim Hasan, op. cit. hlm. 109.
[44] Khoiriyah, op. cit. hlm. 79.
[45] Ibid, hlm. 79.
[46] Ibid, hlm. 79-80.
[47] Samsul Munir Amin, op. cit. hlm.
No comments:
Post a Comment